Perlukah Sunat untuk Bayi Perempuan? Yuk Kenali Risiko dan Bahayanya
Sunat pada bayi perempuan diyakini sebagai bagian dari tuntutan agama dan budaya, namun baik kah hal tersebut dilakukan dari sudut pandang medis?
Moms and Dads, selain sunat dilakukan kepada anak laki-laki, bagi sebagian masyarakat di Indonesia ada yang mempercayai jika sunat pada bayi perempuan juga perlu dilakukan.
Hal tersebut berpedoman pada tuntutan dan budaya. Lalu, bagaimana dari sudut pandang medis mengenai sunat pada bayi perempuan?
Menurut Dr Rosalina Dewi Roeslani, Sp.A(K), seperti dikutip dari situs Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tujuan sunat adalah membuang sebagian atau seluruh kulit penutup bagian depan kelamin. Pada anak laki-laki, tindakan ini dilakukan membuang kulit penutup depan dari glanis penis atau dikenal juga nama prepusium.
"Tujuan melakukan sunat pada anak laki-laki adalah menjaga agar kemaluan bersih dari tumpukan lemak yang terdapat di lipatan kulit prepusium (dikenal sebagai smegma), menurunkan risiko infeksi saluran kemih, infeksi pada penis, maupun risiko mengalami penyakit menular seksual pada usia dewasa," tulis artikel tersebut.
Namun jika tindakan sunat dilakukan kepada bayi perempuan, biasanya dilakukan dengan memotong atau melukai sedikit kulit penutup (prepisum) klitoris.
"Secara anatomis, tidak semua anak perempuan mempunyai prepusium yang menutupi klitoris maupun saluran kemih sehingga secara anatomis, tidak semua anak perempuan mempunyai prepusium yang menutupi klitoris maupun saluran kemih sehingga sunat dinilai tidak perlu dilakukan pada setiap perempuan," katanya melalui artikel tersebut.
Jika mengacu pada aturan pemerintah, pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pernah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/Menkes/PER/XI/2010 mengenai sunat Perempuan.
Dalam permenkes itu memberikan panduan mengenai prosedur pelaksanaan sunat perempuan dalam dunia medis. Namun begitu, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran dan pertentangan atas permenkes tersebut, pada tahun 2014, Kemenkes= mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 6 Tahun 2014, untuk mencabut dan menyebabkan tidak berlakunya lagi Permenkes No. 1636/Menkes/PER/XI/2010.
"Dalam permenkes tersebut, dinyatakan bahwa 'sunat perempuan hingga saat ini tidak merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan'."
Sementara itu di beberapa negara di dunia, sunat pada bayi perempuan dikerjakan sebagai mutilasi genita perempuan atau Female Genital Cutting/Mutilation (FMG).
Menurut WHO ada beberapa tipe FMG, yakni mulai dari melukai, menusuk, atau menggores klitoris atau prepusium, membuang sebagian atau seluruh klitoris, membuang seluruh klitoris dan sebagian atau seluruh labia minor, hingga memotong seluruh klitoris dan seluruh labia minor dan mayor dan menyisakan saluran kemih saja, seluruhnya tanpa indikasi medis.
"Tindakan FMG terutama dilakukan di Afrika, sebagai bentuk kepatuhan terhadap budaya lokal."
Meski begitu, WHO dan Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi Dunia (The International Federation of Gynecology and Obstetrics) menolak seluruh jenis FMG dan menyebut tindakan tersebut sebagai 'praktik medis yang tidak diperlukan, yang memiliki risiko komplikasi serius dan mengancam nyawa'.
Sementara itu, Persatuan Dokter Anak Amerika melarang seluruh anggotanya melakukan tindakan tersebut, untuk alasan di luar medis. FMG dianggap mengancam nyawa karena terdapat banyak pembuluh darah di daerah kemaluan perempuan sehingga memiliki risiko perdarahan yang hebat.
"Kebanyakan praktik FMG dilakukan secara ilegal, menyebabkan meningkatnya risiko infeksi akibat praktik medis tidak steril."
Selain itu, perempuan yang mengalami FMG juga akan mengalami ketidaknyamanan dalam melakukan hubungan seksual yang dapat menyebabkan efek samping jangka panjang.
"Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tidak merekomendasikan sunat perempuan dalam arti pemotongan klitoris. Hanya saja, pada keadaan tertentu seperti terdapatnya selaput di klitoris, dapat dilakukan pembukaan selaput tersebut," tulisnya.
Menurut Rosalina, dari sisi medis, memang belum ada penelitian berbasis bukti untuk mendukung tindakan rutin sunat pada perempuan.
"Risiko perdarahan yang besar dan kemungkinan menyebabkan kerusakan pada daerah genital perempuan menyebabkan prosedur ini tidak rutin dilakukan oleh banyak organisasi kesehatan dunia. Bagi para orang tua, ingatlah untuk selalu berkonsultasi dengan dokter anak sebelum melakukan sunat pada bayi perempuan," ujarnya.